Santri Kuliah Dan Perannya Di Perguruan Tinggi Tinggi

FAST DOWNLOADads
Download
Pada postingan kali ini, situs akan sedikit mengulas mengenai santri. Momentum tanggal 22 Oktober yang sudah ditetapkan menjadi “Hari Santri”, menggugah ghirah kaum santri untuk selalu meningkatkan kualitas pribadi dengan intelektualitas yang bermoral  dan berakhlak. Dan postingan ini akan mengangkat tema besar yaitu Santri Kuliah dan Kiprahnya di Perguruan Tinggi. Berikut ulasannya.


Perguruan Tinggi dan Pesantren

Dulu, orang seringkali beropini bahwa ada pengkotakan (dikotomi) antara Perguruan Tinggi (PT) dan dunia pesantren. Dua model forum pendidikan ini, sepertinya dianggap orang sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak mempunyai kesinambungan. Perguruan Tinggi ialah satu dunia sendiri dan pesantren ialah dunia yang lain.

Malik Fajar dalam kata epilog pada buku yang berjudul “Bilik-Bilik Pesantren” sempat mengemukakan perbedaan yang terang di antara keduanya, walaupun dia juga meragukannya alasannya ialah melihat realitas yang ada sekarang. Beberapa perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
  • Perguruan Tinggi merupakan tanda-tanda di perkotaan dan dunia pesantren sendiri ialah tanda-tanda pedesaan.
  • Perguruan Tinggi diidentikan dengan kemodernan sedangkan pesantren ialah forum yang identik dengan tradisionalis.
  • Perguruan Tinggi menekankan pendidikan yang bersifat liberal, sedangkan pesantren lebih menekankan perilaku konservatif.

Gelombang modernisasi pesantren memang sudah tidak bisa terbendung lagi. Banyaknya pondok-pondok pesantren yang menerapkan metode pembelajaran modern sampai kini telah mengatasi dikotomi tersebut. Alm. KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering kita kenal dengan sapaan Gusdur mengemukakan bahwa perkembangan modernisasi di dalam pondok pesantren justru melaksanakan pembagian terstruktur mengenai dalam dunia pesantren. Bahkan telah melaksanakan pembagian terstruktur mengenai dua jenis pondok pesantren yang berkembang cukup umur ini. Pertama, pesantren yang menampung santri dari kalangan bawah. Dan kedua, pesantren yang menampung santri yang berasal dari kalangan pedagang dan intelektual, atau bawah umur dari mereka yang dianggap pemikir dalam masyarakat.


Penjelasan di atas, semakin menandakan bahwa pendapat yang membedakan antara pondok pesantren dan Perguruan Tinggi sebagai dua forum yang saling bertolak belakang ialah sebuah pendapat yang sudah tidak relevan lagi. 

Kiprah Santri di Perguruan Tinggi

Pada masa era 18-an santri mempunyai budaya petualang dari satu pondok ke pondok yang lain yang dikenal dengan sebutan “Santri Kelana”, dan kemudian mengakhiri petualangannya dengan berguru kepada ulama Timur Tengah. Begitu juga, kalau dulu masa pendidikannya bisa mencapai waktu berpuluh-puluh tahun lamanya, maka santri kini lebih menentukan melanjutkan jenjang pendidikannya ke kampus-kampus. Masa pendidikannya pun diubahsuaikan dengan masa pendidikan formal. Jadi, kalau santri sudah lulus Sekolah Menengan Atas atau Aliyah, biasanya mereka segera meninggalkan pondok dan pribadi memasuki Perguruan Tinggi.
 situs  akan sedikit mengulas mengenai santri Santri Kuliah dan Kiprahnya di Perguruan Tinggi
Yang sangat menarik, sebagaimana yang dikemukakan Amin Haedari dalam bukunya “Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern”, bahwa pada ketika santri mulai memasuki dunia kampus, maka pada hakekatnya ketika menghadapi pengalaman awal masa kuliah, mereka terpilah menjadi dua. Pertama, santri modernis yang dalam lingkungan pesantren asalnya menggunakan contoh pembelajaran modern tidak begitu menghadapi problem. Apa yang terjadi di dunia kampus tak jauh beda dengan apa yang terjadi di pondoknya. Perbedaan pendapat, langgar argumentasi dan pergolakan wacana nyaris sudah dialaminya selama di pondok. Begitu juga wacana-wacana di luar madzhab Syafi’i sudah sering didengar. Realitas ini tentu berbeda dengan jenis santri yang kedua, yaitu santri salafi. Apa yang dilakukan di kursi kuliah merupakan pengalaman yang luar biasa. Perbedaan-perbedaan dalam budaya terlihat begitu jelas. Misalnya penghormatan santri kepada guru (baca: Kyai) yang luar biasa, ternyata tidak ditemukan di dunia kampus. Seorang dosen diperlakukan sebagai orang biasa yang tidak jarang pendapatnya ditolak mentah-mentah. Bahkan tradisi “Tawasul” yang selama ini dipeganginya, mendapat tudingan pihak luar sebagai “Syirik”. Santri salafi mengalami tanda-tanda “Shock Culture” yang luar biasa ketika berhadapan dengan dunia ajaib di luar pesantren menyerupai ini.


Yang terjadi kemudian, tidak sedikit santri yang sanggup berhadapan dengan masa-masa bimbang ini, dengan hati-hati, santri kemudian mengambil jarak pada abjad budaya yang ada kemudian melanjutkan kuliah sebagaimana adanya. Dan tidak sedikit pula yang tak sanggup beradaptasi, pikirannya goncang, dan hatinya tidak tenang. Mereka kemudian menetapkan untuk berhenti kuliah. Tetapi disisi yang lain, tak sedikit pula yang justru menikmatinya, larut dalam budaya gres ini. Bahkan, mereka berbalik membenci tradisi pesantren yang dianggapnya sebagai “Pemenjara Ekspresi”.

Santri tipe pertama, pada akhirnya melaksanakan pilihan-pilihan atas abjad gres yang dialaminya. Biasanya mencari teman-teman yang senasib untuk berkomunikasi, dan ada juga yang mencari organisasi yang sejalan dengan dunia pesantren. Juga masih sering berkomunikasi dengan kyai untuk konsultasi atau sekedar mencari ketenangan jiwa. Sedangkan untuk santri yang tidak sanggup beradaptasi, menganggap contoh pendidikan liberal sebagai pendidikan yang membahayakan akidah dan keyakinan.

Untuk santri jenis kedua, biasanya menghabiskan masa mudanya dengan memperdalam kembali kitab kuning, mengikuti tarekat, dan banyak yang mulai menghafalkan al-Quran. Santri yang terakhir ini tentunya menjadi sebuah fenomena yang menarik. Santri jenis ini justru mencicipi udara yang segar di kampus sesudah bertahun-tahun mengalami tekanan psikologis di pesantren. Pada ketika ia memasuki kampus, santri jenis ini gres menemukan pembelaan-pembelaan ilmiah wacana tidak perlunya terlalu disiplin terhadap kyai. Dan pada akhirnya meminjam Teorinya Freud, “id” yang selama ini dikungkung, tiba-tiba mendapat tempat untuk diekspresikan. Maka terang secara impulsif verbal ini terlalu berlebihan. Santri jenis ini dalam kegiatan selanjutnya menjadi orang-orang radikal dan beraliran keras. Salah satu fenomena yang tahun-tahun kemarin ramai ialah pada tataran pikiran misalnya, generasi Ulil Abshar Abdalla dkk yang notabene sebagai jebolan pesantren, ternyata lebih apresiatif terhadap wacana-wacana liberal. Pikiran mereka sangat liar dalam ukuran orang-orang pesantren.

Mengukur psikologi bawah umur santri memang sulit, apa yang terjadi pada masing-masing santri juga berbeda-beda. Misalnya ketika memasuki kampus, ada yang ogah-ogahan dan ada juga yang serius belajar. Namun kalau dicoba dilihat dari aspek psikologis, sepertinya mahasiswa yang berasal dari kalangan santri ini juga harus dibagi lagi ke dalam dua jenis:

Pertama, santri yang kuliah di kawasan (bukan ibukota), dimana jarak antara kampus dan pesantren masih dekat. Santri semacam ini masih sering bertemu dengan kyai, bahkan ada pula yang pulang pergi pesantren kampus dan hidup tetap di pesantren dengan segala aktivitasnya. Sedikit interaksi dengan dunia luar menciptakan tidak ada kemajuan intelektual yang begitu berarti, begitu juga ghirahnya untuk bersaing kurang begitu terpacu. Bagi santri jenis ini, pondok tetaplah “Is the Best”, karenanya kurang begitu kritis dengan dunia pesantren yang dialaminya.

Yang kedua, santri yang kuliah di ibukota. Santri jenis ini lebih terpacu ghirahnya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan. Dan dalam duduk kasus perkembangan pengetahuan santri jenis ini relatif lebih maju dan akomodatif terhadap ideology-ideologi yang berbeda dengan apa yang selama ini ia pegang. Bakhan tak jarang ada yang berbalik arah menganut satu paham baru. Fenomena munculnya seorang tokoh seks muda, Moammar Emka, seorang pengarang buku “Jakarta Undercover” yang tak lain ialah alumni pondok pesantren. Selain itu juga muncul intelektual muda, Ulil Abshar, penggiat Islam Liberal, dan banyak lagi santri-santri yang lain.

Generasi pesantren yang kedua inilah sebagai generasi kritis juga generasi petarung. Tempaan disiplin ilmu yang selama bertahun-tahun telah menempel sebagai habitus yang tentunya ketika energi itu dialihkan untuk hal positif akan membuahkan hasil yang maksimal. Generasi inilah yang bisa mencapai “Tangga Tertinggi Intelektualitas”.

Demikianlah ulasan mengenai santri kuliah dan perannya di Perguruan Tinggi sebagai penyemarak hari santri nasional. Semoga sanggup menginspirasi dan bisa menambah ghirah sahabat-sahabat untuk terus menimba ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk memakmurkan bumi tercinta. Salam santri!!!
FAST DOWNLOADads
Download
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url