Konsep Pendidikan Kaum Marginal Masyarakat Pesisir
Konsep Pendidikan Kaum Marginal Masyarakat Pesisir - Pendidikan intinya memegang tugas yang sangat penting dalam membina sikap mental dan watak masyarakat. Secara umum pendidikan mempunyai tujuan untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaan secara menyeluruh dan seimbang, sehingga sanggup dengan benar-benar menjadi insan yang utuh dalam arti insan yang sanggup mengenali dirinya serta mengenali martabat kemanusiaan. Manusia yang demikian sudah barang tentu sanggup membedakan diri dari belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.
Pendidikan yang diberikan merupakan langkah awal dalam perjuangan membekali pengetahuan dan keterampilan bagi setiap insan untuk bersikap dan berperilaku di dalam lingkungan sosialnya. Perilaku merupakan manifestasi tindakan dan sikap yang dilakukan orang renta kepada anak-anaknya melalui proses pendidikan. Sedangkan pendidikan itu sendiri merupakan proses merubah sikap dan tata laris seseorang atau kelompok orang dalam perjuangan mendewasakan insan melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Di sisi lain kemiskinan diartikan sebuah kondisi yang diderita insan lantaran kekurangan atau tidak mempunyai pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang jelek dan kekurangan transfortasi yang dibutuhkan. Dengan demikian yang dimaksud sikap pendidikan orang renta dalam keluarga nelayan miskin di sini ialah sebuah bimbingan, arahan, anjuran, tingkah laku, sikap dan tindakan pendidikan yang dilakukan orang renta terhadap anak-anaknya dalam keluarga nelayan miskin sebagai upaya meningkatkan taraf hidup dan kehidupannya, sehingga mempunyai kepercayaan diri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Hampir di setiap kawasan banyak bawah umur yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, atau pendidikan putus di tengah jalan disebabkan lantaran kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan. Kondisi ekonomi ibarat ini menjadi penghalang bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan. Sementara kondisi ekonomi ibarat ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya orang renta tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya.
Menurut Istiqlaliyah Dian C mengelompokkan kaum marginal, yaitu mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan dengan batasan “wajib belajar” dari Negara. Dengan kata lain, mereka yang terpinggirkan dalam hal pendidikan lantaran tidak bisa secara ekonomi untuk membiayai pendidikan. Selain itu, pengertian marjinal bisa dikatakan ialah kaum pinggiran, kaum miskin, indigo. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan di sini. Kaum marjinal bisa dikatakan kaum pinggiran atau kaum miskin yang dibawah kemiskinan. Jika dikaitkan bahwa duduk kasus surutnya pendidikan lantaran adanya kesenjangan ekonomi, maka generasi muda yang ideal ialah mereka yang berasal dari kalangan masyarakat marjinal.
Pertama, masyarakat marjinal ialah golongan masyarakat yang paling mencicipi penderitaan atas himpitan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kedua, masyarakat marjinal umumnya hanya mempunyai dua alternatif dalam proses pendidikan mereka, memperoleh pendidikan formal pada forum pendidikan formal yang kurang (bahkan tidak) bermutu, atau sama sekali tidak bersekolah dan menjadi pekerja di sektor informal (Mohammad Ali Fauzi 2007: 25).
Jika ini yang terjadi, maka proses marjinalissasi akan terus menimpa mereka. Bekal pendidikan yang pas-pasan, menciptakan masyarakat marjinal susah berkompetisi di pasan tenaga kerja. Akibatnya, peluang untuk memperoleh kehidupan ekonomi mereka semakin sempit.
Pendidikan untuk semua (Education for All) yang diperkenalkan oleh UNESCO, di Bangkok dengan nama “Asia Pacifik Programme for Education for All” (APPEAL) telah berkembang dengan pesat dan lebih menjadi jadwal pendidikan yang sangat penting. The World Summit on Education for All di Jontien tahun 1990 telah menghasilkan deklarasi dunia wacana pendidikan untuk semua. Antara lain memuat pasal-pasal wacana memenuhi kebutuhan berguru dasar, pembentukan visi yang diperluas mencakup kesempatan berguru semesta (universal) dan pengembangan kesamaan (pemerataan dan persamaan), pemusatan pada pembelajaran, ekspansi alat dan lingkup pendidikan dasar, pengembangan lingkungan untuk belajar, dan penguatan kemitraan (A. Malik Fajar, 2005: 251).
Implementasi pendidikan untuk semua tidak semudah yang dibayangkan. Implementasi itu bersangkut dengan terbentuknya kesempatan bagi setiap orang untuk mengikuti pendidikan. Kesempatan juga implisit mengandung arti redistribusi terhadap saluran dan pembiasaan orang untuk terlibat di dalam pendidikan. Masalahnya kemudian ialah redistribusi sangat ditentukan oleh kemampuan penganggaran, social spanding dan berhasil tidaknya kita di dalam memerangi kemiskinan. Penerapan pendidikan untuk semua elemen masyarakat (Muchlis R Luddin, 2007: 4).
Mengingat masyarakat pesisir ialah masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus, baik dari segi pemahaman terhadap pendidikan, tingkat kesejahteraan, miskinnya pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaan, kurang kreatif, maupun kurang bersiklus administrasi keuangan untuk memilih masa depan, maka diharapkan konsep pendidikan yang lebih spesifik yang sanggup menawarkan kesempatan kepada mereka untuk berguru dan meningkatkan ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan. Hal ini disebabkan sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting dan sekarang saatnya menyadarkan masyarakat pesisir bahwa pendidikan itu penting.
Adapun konsep yang ditawarkan ialah konsep pendidikan kaum marjinal melalui pendidikan berbasis potensi lokal masyarakat pesisir. Konsep pendidikan berbasis potensi lokal intinya mengacu pada pendidikan berbasis masyarakat juga menekankan keluarannya dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sesuai tingkatannya. Kemampuan tersebut sebagai dasar semoga bisa menganalisa apa yang akan diperbuatnya, bisa memakai teknologi yang diharapkan untuk mengolah sumber daya lingkungan yang tersedia (appropriate to environment requirement) bisa memecahkan permasalahan yang dihadapi (Umberto Sihombing, 2002: 99).